Tema: Pemerintah percaya bahwa adanya kasus kematian yang diakibatkan senioritas membuktikan bahwa pendidikan di Indonesia gagal.
Senioritas Membudaya:
Datang Membawa Cita, Pulang dengan Nama
Oleh Leffy Oktaviany R.S
Perilaku kekerasan yang makin marak dilakukan oleh remaja telah menunjukkan tingkat pendidikan dan pengawasan yang sangat memprihatinkan. Indikasinya, perilaku ini sudah merambah ke semua inti dan sendi kehidupan bermasyarakat, tak terkecuali dunia pendidikan. Bahkan, yang lebih menyedihkan, pendidikan dasar yang dimaksudkan sebagai fondasi pembentukan karakter juga telah tercemar oleh praktek praktek kekerasan. Sekolah sebagai persemaian perilaku berbudi pekerti telah dinodai oleh berbagai perilaku kekerasan hingga menimbulkan korban jiwa.
Sejarah pendidikan tanah air mencatat banyak peristiwa kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah, bahkan di kampus kampus yang terjadi karena tingkah tangan para seniornya. Masih terpateri di memori kita berapa banyak tunas muda mulai dari jenjang SMP, SMA, bahkan Perguruan Tinggi di Indonesia tewas akibat senioritas. Pertanyaan yang selalu mengusik kita adalah mengapa perilaku kekerasan selalu kembali terulang dalam dunia pendidikan kita?
Senioritas mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita. Senioritas memiliki definisi yaitu dimana seseorang berada dalam keadaan tertinggi dalam pangkat, usia, atau pengalaman. Namun definisi sesungguhnya dari kata senioritas ini sendiri telah mengalami banyak penyalahartian bahkan penyalah gunaan.
Perilaku kekerasan ini cenderung diturunkan dilingkungan sekolah. Secara psikologis, seorang individu yang dididik dan dibesarkan dalam lingkungan yang mendukung cara-cara kekerasan akan menerapkan perilaku yang sama manakala ia mendapatkan kekuasaan. Siklus kekerasan akhirnya menjadi tradisi dan berulang setiap tahun. Siswa baru yang mengalami masa orientasi dengan kekerasan akan menerapkan hal yang sama manakala mereka menjadi senior. Dalam otak mereka tertanam benih pikiran bahwa menjadi senior berarti berhak untuk berperilaku keras terhadap junior dan sah memperlakukan junior semau mereka karena tindakan kekerasan yang sama pernah mereka alami sebelumnya. Tradisi ini tentu saja sangat berbahaya bagi dunia pendidikan kita dan menjadi sangat sulit untuk dihilangkan ketika sudah mengakar dan membudaya selama bertahun tahun lamanya.
Kematian para pelajar di tangan seniornya hingga saat ini menjadi wake-up call bagi semua pihak bahwa perilaku kekerasan telah bermetamorfosis menjadi budaya klasik di Indonesia. Bagaimana mungkin seseorang yang sedang menempa dan mempersiapkan diri harus meregang nyawa di tempat yang menjadi pijakan bagi masa depannya? Di mana pengawasan para pamong (dosen, guru, dan administratur pendidikan lain) hingga peristiwa kekerasan ini bisa terjadi di sekolah yang dipercayakan kepada mereka? Apa hal yang menyediakan celah kekerasan bagi anak-anak baik yang berangkat ke sekolah dengan membawa cita kini hanya pulang dengan nama?
Senioritas yang diterapkan di banyak sekolah di Indonesia melenceng dari yang seharusnya dan bersifat otoriter. Penulis memahami, masalah yang kiranya muncul itu salah satu penyebabnya adalah relasi antar sesama. Artinya bahwa hubungan antar sesama dalam komunitas antara adik kakak itu tidak berjalan harmonis. Terjadinya kesenjangan hormat menghormati dan sikap saling menghargai. Adik kelas yang dianggap sebagai junior pun pada akhirnya dijadikan sebagai obyek “perpeloncoan” oleh seniornya. Tak sedikit membuat trauma para juniornya bahkan dapat meregang nyawa.
Sebenarnya, apa faktor yang menyebabkan tangan tangan para senior dapat dengan mudah menjangkau junior juniornya itu? Ketidakpekaan, ketidakpedulian, dan ketidaktegasan administratur dan guru yang diserahi tanggung jawab untuk mengelola sekolah adalah faktor yang paling berkontribusi terjadinya perilaku kekerasan dalam dunia pendidikan. Sekolah adalah rumah kedua siswa. Orang tua mengirim anak mereka ke sekolah karena mereka percaya bahwa sekolah adalah tempat yang aman bagi tumbuh kembangnya anak-anak. Siapa pun orang yang dipercaya untuk mengelola sekolah harus memastikan bahwa anak-anak yang berada dalam tanggung jawabnya berada dalam keadaan yang terlindungi, aman dari segala ancaman kekerasan. Bila terjadi kekerasan di sekolah, pihak pengelola sekolahlah yang harus dimintai tanggung jawabnya karena telah laiai dan mengabaikan kewajiban. Pengelola dan penganggung jawab sekolah yang tidak tegas dan tidak berani menghentikan budaya kekerasan dalam segala bentuk harus dijauhkan dari lingkungan sekolah karena mereka membuka peluang bagi terjadinya tindak kekerasan. Dalam kondisi macam ini, siswa yang mereka asuh berpotensi besar menjadi korban. Perilaku kekerasan hanya tinggal menunggu waktu. Selain itu Kekerasan ini beroperasi melalui nilai nilai sosial, aspek budaya, dan faktor struktural (masyarakat).
Maka dapat di simpulkan semua penyebab senioritas di atas membuktikan bahwa gagalnya pendidikan di Indonesia juga ikut andil dalam terjadikan tindak senioritas di sekolah.
Cara untuk mengurangi senioritas yaitu melalui keluarga. Salah satunya dengan menjalin komunikasi antara guru dan orang tua. Hal itu berguna agar orang tua dapat memantau segala kegiatan dan perkembangan anak selama di sekolah. Hendaknya juga orang tua menerapkan pola asuh yang lebih menekankan pada dukungan daripada hukuman agar anak tidak menjadi stress dan tertekan.
Perilaku kekerasan yang masih sering terjadi di sekolah seharusnya menjadi cermin kegagalan kita dalam menyiapkan generasi penerus bangsa. Setiap orang harus menyadari bahwa kekerasan hanya akan membawa dendam dan kehancuran. Akan lebih baik senioritas itu di jaga untuk dikembangkan manfaatnya seperti mengajarkan tentang pentingnya sopan santun, saling menghargai dan meningkatkan kedisiplinan. Menciptakan generasi “Senior yang berpendidikan dan mendidik”. Melihat perilaku para siswa dan mahasiswa yang gemar berkelahi dan menyakiti sesama mereka mengharuskan kita untuk melakukan upaya luar biasa agar perilaku ini segera dihentikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar