Singgasana fana, kala mentari masih mengelokan wajahnya.
Teruntuk Ibu yang sedang memasak di dapur,
Wanginya tercium hingga tak lagi bisa kubedakan mana masakan dan mana hujan karena keduanya selalu mengandung aroma kerinduan.
Wanginya tercium hingga tak lagi bisa kubedakan mana masakan dan mana hujan karena keduanya selalu mengandung aroma kerinduan.
Senandung waktu seirama mengiringi umuran jagungku. Kasih sayangmu terukir suci dalam ketidakberdayaanku melawan ketulusan ikhlas itu. Keridhaan terpancar dari wajah tulusmu. Tuturmu mendamaikan kalbu kegelisahan, seakan hilang direbut masa.
Ibu, terbayang sejak detik pertamaku mengenal dunia, aku tumbuh selamat dalam menatap kedewasaanku. Saat itu, tak kudapatkan keluhan sedikitpun darimu karena masuk kedalam perangkap hidupmu begitu saja, datang tanpa seizinmu. Pernah ku berpikir, siapa sebenarnya sosokmu itu? Rela tersakiti demi sebuah nyawa kecilku saat itu, pantang mundur disaat menuntunku.
Bu, hatiku sering bertanya dalam harapan-harapan anehku, yang kupikir bahwa keadaan itu sangat mudah kau dapatkan. Tak bisakah sedikit saja kau biarkan aku terluka? Tak sanggupkah menggeser namaku secuil saja dari benak jiwamu? Tak mampukah jiwa besarmu menghilang sekejap saja dari hadapanku? Tak kuasakah air matamu terjatuh tuk menyudutkanku sedetik saja?
Ibu, aku tidak sanggup untuk membayangkan hari itu. Hari dimana jemari kita tak lagi bisa bersatu. Namun bukankah kasih tak melulu tentang raga yang bertemu? Melainkan hati yang selalu saling terpaut walau jarak dan waktu selalu berusaha memisahkan apa yang seharusnya bersatu.
Kau tahu, Bu? Rumah selalu menjadi tempat yang kurindukan, selama ada dirimu disana, ia menjadi lebih dari segalanya. Rumah tanpamu, bagaikan bangunan tanpa atap. Dan aku tanpamu, seperti merpati tanpa sayap. I love you Mom.
Dari anakmu yang dirundung hujan, haus kerinduan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar